PT. Equityworld Futures Manado - Chief strategist beken dari JPMorgan Marko Kolanovic mewanti-wanti adanya potensi aksi jual besar-besaran yang bisa membuat indeks S&P 500 turun hingga 20%.
Menurut sosok yang kerap dijuluki Gandalf (tokoh protagonis dalam novel The Hobbit dan The Lord of the Rings) tersebut, suku bunga yang tinggi menciptakan titik puncak bagi pasar saham.
Dia menyebut, memilih cash dengan tingkat pengembalian (return) 5,5% di pasar uang dan obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) Treasury jangka pendek adalah strategi perlindungan utama saat ini.
"Saya tidak yakin bagaimana kita akan menghindarinya [resesi]
jika kita tetap pada tingkat suku bunga ini," kata kepala strategi pasar
dan kepala penelitian global JPMorgan tersebut kepada "Fast Money" CNBC International pada Kamis (6/10/2023).
&P 500 ditutup pada 4,258.19 pada Kamis dan berada di titik puncak penurunan lima minggu berturut-turut. Indeks ini turun lebih dari 5% selama sebulan terakhir.
Kolanovic yakin kelemahan ini bukanlah pertanda kuat bahwa pergerakan besar-besaran ke bawah sudah terjadi. Dia mengindikasikan pemantulan (rebound) jangka pendek masih mungkin terjadi karena banyak hal bergantung pada laporan ekonomi Negeri Paman Sam selama beberapa bulan ke depan.
″[Kami] tidak serta merta menyerukan kemunduran (pullback) tajam dalam waktu dekat," katanya. "Mungkinkah ada kenaikan saham sebesar lima, enam, tujuh persen lagi? Tentu saja... Tapi ada sisi buruknya. Ini bisa menjadi penurunan 20%," imbuhnya.
Dia memperingatkan saham-saham 'Magnificent Seven' (7 Saham Luar Biasa), yang mencakup raksasa teknologi AS, Apple, Amazon, Meta, Alphabet, Nvidia, Tesla dan Microsoft, termasuk yang paling rentan terhadap kerugian besar karena kenaikan tinggi mereka di tengah tingginya suku bunga oleh bank sentral AS Federal Reserve (The Fed).
Kelompok saham tersebut terbang 83% sepanjang tahun ini, turut menopang sebagian besar kenaikan indeks S&P 500.
"Jika terjadi resesi, saya pikir Magnificent (Seven)... akan menyusul sektor-sektor lainnya," kata Kolanovic, mengutip sektor-sektor yang terpuruk termasuk sektor konsumen dan utilitas.
Ditambah lagi, Kolanovic yakin konsumen AS akan mengalami defisit uang karena kondisi ekonomi makro saat ini.
"Pasar kerja masih kuat. Namun Anda mulai melihat tekanan pada konsumen jika Anda melihat tunggakan pada kartu [kredit] dan pinjaman mobil," katanya. "Kami masih agak negatif."
Kolanovic mematok target akhir tahun untuk indeks S&P 500 di level 4.200. Indeks tersebut menutup 2022 di posisi 3.839,50.
Posisi Kolanovic yang menjadi pesimis di 2023 terbilang kontras dengan tahun lalu yang optimis.
Pasar Saham RI
Dari pasar dalam negeri, riak-riak goyahnya Wall Street terasa akhir-akhir ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat dua kali anjlok hingga 1% dalam sehari, yakni pada 26 September dan 4 Oktober lalu (sebelum ditutup minus 0,78%). Dalam sepekan, IHSG minus 0,55% dan dalam sebulan turun 0,77%.
Dana asing tercatat keluar dari pasar saham dengan nilai jual bersih (net sell) Rp74,43 miliar di pasar reguler dalam sepekan dan sebesar Rp3,06 triliun dalam sebulan belakangan di pasar reguler.
Di tengah situasi makro global yang penuh pergantian narasi, terutama soal kebijakan moneter AS, investor dalam negeri bisa berharap faktor musiman (seasonality) Oktober akan mampu membuat IHSG kembali bergairah.
Maklum, dalam 10 tahun terakhir, kemungkinan IHSG menghijau selama Oktober mencapai 73% dengan tingkat kenaikan rerata mencapai 1,90%.
Hanya saja, selain faktor musiman, sejumlah kondisi ekonomi dalam dan luar negeri sedikit banyak masih akan tetap menjadi pendorong utama IHSG ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar