PT. Equityworld Futures Manado - Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memang menjadi penghambat gerak pasar keuangan Tanah Air terutama saham. namun, nyatanya tak semua emiten rugi karena ambruknya mata uang Garuda, malah ada yang untung dari kondisi ini.
Karakteristik utama emiten yang akan diuntungkan ketika rupiah melemah adalah yang mendapatkan penghasilan dari penjualan ekspor sehingga banyak melakukan transaksi dengan dolar AS, bahkan beberapa perusahaan mencatatkan laporan keuangan dengan denominasi dolar AS.
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan yang berakhir Rabu (4/10/2023) nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS ditutup di angka Rp15.625/US$, ambruk 0,32% secara harian. Hal tersebut menandai rupiah telah melemah selama tiga hari berturut-turut, bahkan nilainya menjadi yang paling parah selama sembilan bulan terakhir.
Ambruknya rupiah dibayangi ketidakpastian eksternal yang semakin meningkat terutama dari bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang masih potensi meningkatkan suku bunga acuan pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) di sisa tahun ini.
Ketidakpastian global membuat yield obligasi 10 tahunan AS melonjak mendekati level psikologis 5%, bahkan sudah melampaui level tertinggi sejak 16 tahun lalu, kemudian indeks dolar DXY melesat ke level tertinggi sejak 2007 silam.
Potensi kenaikan suku bunga serta kenaikan yield treasury AS dan indeks dolar DXY akan menjadi penekan mata uang emerging market, termasuk Indonesia.
Dalam hal ini tentu menjadi tantangan bagi pasar modal dalam negeri karena potensi asing akan bisa kabur, dampaknya kinerja sejumlah emiten pun jadi melempem.
Namun ternyata ada beberapa emiten yang masih tahan banting melawan ketika dolar makin perkasa diantaranya sebagai berikut :
Sektor Komoditas - Kertas
Emiten yang banyak
ekspor ini biasanya di sektor komoditas, beberapa yang sudah mulai
terlihat mengepakkan sayapnya ada duo emiten di sektor kertas yakni PT
Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
Tbk (TKIM).
Baca Juga : Ironis! Pemilik Emas Menggantungkan Nasib ke Pengangguran AS
Sejak awal tahun hingga akhir perdagangan Rabu (4/10/2023) saham INKP dan TKIM masing-masing telah melesat 15,76% dan 20,57%. Duo produsen kertas milik grup Sinarmas ini diketahui memang memiliki pendapatan ekspor yang dominan. Tercatat hingga pertengahan tahun 2023 persentase ekspor terhadap total penjualan mencapai lebih dari 50%.
Ketika rupiah melemah dengan kondisi penjualan ekspor yang dominan tentu menjadi keuntungan karena pendapatan akan lebih optimal karena keuntungan dari selisih kurs mata uang Garuda dan the Greenback.
Sektor Komoditas - Energi dari Migas dan Batubara
Sektor komoditas seperti energi yang meliputi minyak dan gas (migas) dan batubara potensi diuntungkan ketika rupiah melemah, pasalnya penjualan masih ditopang ekspor dan/atau mayoritas transaksi dalam laporan keuangan dicatatkan dengan denominasi dolar AS.
Ibu dari komoditas yakni minyak mentah bahkan beberapa kali menguji level tertinggi pada sepanjang tahun ini ke atas US$ 90 per barel. Kenaikan harga minyak mentah ini mengerek harga energi substitusi-nya yakni gas dan juga batubara.
Harga gas alam selama seminggu terakhir yang berakhir pada Rabu (4/10/2023) masih dalam tren penguatan sebesar 2,74% ke posisi US$ 2,97/MMBtu. Harga batubara walau sudah mulai terkoreksi, tetapi sempat ke level US$ 160 per ton pada tahun ini.
Penguatan harga komoditas energi selama beberapa waktu ini terjadi sejalan dengan kebutuhan energi yang meningkat karena perubahan iklim tak menentu di berbagai negara, ada yang mengalami gelombang panas ada juga yang dalam masa persiapan menuju musim dingin pada akhir tahun mendatang.
Tak hanya itu, peralihan ke energi baru terbarukan (EBT) juga memberikan eksposur investasi yang lebih tinggi sejalan dengan tujuan mencapai net zero emission pada 2060 mendatang, beberapa perusahaan energi bahkan membuat lini bisnis baru untuk menambah portofolio pendapatan agar tak hanya mengandalkan energi fosil.
Beberapa perusahaan yang berfokus pada renewable energy seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), PT Barito Pacific Tbk (BRPT) yang juga sedang mengawal anak usahanya melantai di bursa yakni PT Barito Renewable Energy Tbk (BREN), serta PT Medco Energy International Tbk (MEDC) yang juga masuk ke energi ramah lingkungan melalui anak usahanya PT Medco Power.
Minat investor yang masih tinggi terhadap emiten energi ramah lingkungan tersebut semakin tercermin dari geliat harga saham yang atraktif. PGEO sejak IPO telah melonjak lebih dari 80%, BRPT juga tak kalah sejak awal tahun melesat 70,20%, sedangkan MEDC menguat 38,92% secara year-to-date (YTD).
Di lain sisi, kendati pelarangan penggunaan energi batubara sudah semakin gencar, akan tetapi penggunaannya masih dominan dalam skala global, apalagi costnya yang rendah dan penjualan ekspor masih tinggi membuat potensi keuntungan masih bisa didulang.
Perkiraan beban untuk batubara sendiri berkisar pada US$ 40 - 50 per ton, sedangkan harga saat ini di kisaran US$ 145 per ton sudah bisa membuat emiten batubara mencetak laba yang positif lagi, walau pertumbuhannya kemungkinan besar tak semasif 2022 yang merupakan rekor sepanjang sejarah.
Emiten lain yang ditopang ekspor
Selanjutnya emiten lain-nya yang akan diuntungkan dari pelemahan rupiah adalah yang bisnisnya ditopang oleh kinerja ekspor. Salah satunya, PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Perusahaan produsen permen Kopiko ini memang terkenal mengandalkan ekspor sebagai penopang bisnisnya yang bahkan sudah merambah hingga ke Korea Selatan.
Penjualan kumulatif hingga semester I/2023 tercatat mencapai Rp14,81 triliun, dimana 42% atau setara Rp6,31 triliun dikontribusi oleh penjualan ekspor.
Mayoritas ekspor untuk produk mayora terpantau ke pasar Asia mencapai Rp5,91 triliun, nilai ini naik 6,99% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp5,52 triliun, sementara pasar ekspor lain sebesar Rp395,18 miliar juga mengalami lonjakan sebesar 27,53% pada periode yang sama.
Peningkatan ekspor menunjukkan permintaan produk Mayora di kancah internasional masih positif sehingga pendapatan dalam mata uang asing juga masih bisa mengoptimalkan pendapatan MYOR tetap solid, dampaknya juga bisa ke bottom line yang potensi terkerek naik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar