Selasa, 03 Oktober 2023

Jalan Terjal Rupiah di 2023: Dulu Rp14.600 Kini Rp15.600/US$

Pekerja memperlihatkan uang dolar di salah satu gerai money changer di Jakarta, Senin (4/7/2022).  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

PT. Equityworld Futures Manado - Rupiah semakin terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS), bahkan menyentuh level terendah sepanjang tahun ini. Sentimen utama koreksi rupiah disebabkan oleh selisih suku bunga  di AS dan pasokan dolar di Indonesia yang tipis.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.575/US$ atau melemah 0,32% terhadap dolar AS. Reli bearish rupiah terjadi sejak Mei 2023 yang konsisten terdepresiasi 5 bulan berturut-turut (1 Mei-30 September 2023), sebesar 5,8%.

Rupiah makin anjlok hari ini, Rabu (4/10/2023). Mata uang Garuda pada Rau pukul 11:20 WIB, ada di posisi Rp 15.632/US$1 atau melemah 0,37%. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 29 Desember 2022 atau lebih dari sembilan bulan terakhir.

Rupiah mengalami volatilitas cukup tinggi pada 2023. Pergerakan rupiah tahun ini berada di rentang Rp 14.665-15.630/US$.

Nilai rupiah terburuk terjadi pada awal tahun (6/1) menyentuh Rp15.630/US$. Tidak lama berselang, rupiah langsung rebound pada (2/2) menjadi Rp14.875/US$.

Sekejap, rupiah kembali melemah menjadi Rp 15.445/US$ pada bulan setelahnya (10/3). Rupiah kembali menguat setelahnya menjadi Rp14.665/US$ pada (28/4). Sejak Mei, rupiah menunjukkan tren pelemahan hingga mendekati level tertinggi awal tahun.

Pelemahan Rupiah

Titik terburuk rupiah terjadi sebanyak 3x pada tahun ini. Titik terlemah rupiah pada (6/1) disinyalir akibat cadangan devisa Indonesia yang menurun dalam 7 bulan beruntun sebelum naik pada November 2022. Hal ini sudah bisa memberikan gambaran tirisnya pasokan valas di dalam negeri, padahal seharusnya bisa meningkat sebab neraca perdagangan terus mencetak surplus.

Ditengarai para eksportir menempatkan dolar AS mereka di Singapura. Pasalnya, suku bunga deposito valas di Singapura lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Rupiah juga mengalami pelemahan pada Maret akibat investasi asing yang kabur dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 3,03 triliun pada 6-9 Maret 2023. Selain itu, outflow di pasar SBN dipengaruhi oleh sentimen The Fed. Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang mengungkapkan bahwa suku bunga AS atau fed fund rate (FFR) akan naik lebih tinggi, bikin semua investor putar arah.

Hal ini yang membuat yield US Treasury meningkat dan memberikan dampak terhadap pasar keuangan Indonesia, terutama ke pasar obligasi pemerintah.

Koreksi rupiah kembali terjadi pada periode Mei-September 2023 pasca bank sentral AS (The Fed) meyakini suku bunga AS di level yang tinggi dalam untuk periode yang panjang.

Dilansir dari Reuters, pejabat bank sentral AS (The Fed) mengatakan bahwa kebijakan moneter perlu tetap bersifat restriktif untuk "beberapa waktu" agar inflasi kembali turun ke target The Fed sebesar 2%.

Kendati ada kemajuan besar, inflasi masih terlalu tinggi, dan ia memperkirakan akan tepat bagi (Fed) untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut dan mempertahankannya pada tingkat yang ketat untuk beberapa waktu.

 Baca Juga : Pemilik Emas Mesti Waspada: Harganya Bentar Lagi ke US$ 1700

Di sisi lain, terjadi capital outflow dari pasar keuangan domestik yang mengakibatkan tertekannya nilai tukar rupiah. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan investor asing masih meninggalkan pasar keuangan Indonesia sehingga terjadi capital outflow.

Data transaksi Bank Indonesia (BI) pada 25 - 27 September 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp7,77 triliun terdiri dari jual neto Rp7,86 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp2,07 triliun di pasar saham dan beli neto Rp2,16 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Penguatan Rupiah

Secara garis besar, rupiah masih menunjukkan penguatan dua kali pada tahun ini. Penguatan pertama terjadi pada Februari akibat spekulasi bahwa The Fed akan mengurangi hawkish, mengingat inflasi yang telah memuncak.

Di sisi lain, rupiah sedang dinaungi sentimen positif dari indeks manufaktur yang berada di 51,3 pada Januari, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 50,8. PMI manufaktur di atas 50, tentunya bisa memberikan sentimen positif ke rupiah. Seperti diketahui, industri pengolahan berkontribusi sekitar 18% terhadap produk domestik bruto (PDB), terbesar berdasarkan lapangan usaha.

ementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan pada Januari 2023 mencapai 5,28% (year-on-year), lebih rendah dari Desember 2022 yang mencapai 5,51%. Dengan inflasi yang semakin turun, daya beli masyarakat tentunya akan semakin kuat, yang bisa berdampak positif bag pertumbuhan ekonomi.

Pada Februari 2022, BPS juga mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 5,3%, tertinggi sejak 2014. Pertumbuhan pada level tersebut juga menegaskan ekonomi Indonesia sudah pulih setelah dihantam pandemi Covid-19.

Rupiah juga sukses mencetak rekor terkuat 2023 pada Jumat (28/4/2023). Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang lebih rendah dari ekspektasi membuat dolar AS kesulitan bangkit.

Isu utang Amerika Serikat juga menjadi salah satu penekan dolar AS. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan per 31 Maret utang Amerika Serikat menembus US$ 31,45 triliun, diperparah dengan ancaman anggaran belanja yang diperkirakan akan habis.
Pada 28 April 2023, rupiah  mampu berdiri di posisi Rp 14.665/US$1. 

Nilai tukar rupiah mulai goyang menjelang akhir Juni dan memburuk pada Juli 2023 sampai menembus level US$ 15.000 /uS$ secara permanen. Pelemahan terjadi karena ekspektasi kenaikan suku bunga menguat. The Fed pada akhirnya menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada akhir Juli.

Rupiah kemudian melemah terus sejak Agustus hingga sekarang ini.  Bila dilihat pergerakan rupiah sepanjang 2023, secara bulanan, rupiah hanya menguat empat kali yakni pada Februari, Maret, Mei, dan Juni. Selebihnya rupiah tumbang, Pada Agustus lalu, mata uang Garuda bahkan ambles 1,49% sebulan.




CNBC INDONESIA RESEARCH

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar