Slamet mengatakan Habib Rizieq mengungkap surat itu dalam acara peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Petamburan Jumat pekan lalu. Ada sejumlah poin yang disampaikan Slamet terkait Rizieq.
"Pertama, bahwa IB HRS (Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab) bukan tidak berani pulang, akan tetapi kepulangan beliau terhalang oleh hambatan yang bersifat politis yang bersumber dari pihak Indonesia. Terdapatnya hambatan tersebut disebabkan oleh persepsi yang salah terhadap IB HRS," kata Slamet dalam konferensi pers di DPP FPI, Jalan petamburan III Gang Paksi, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019).
Kata Slamet, pihak yang memberikan hambatan tersebut selalu mempersepsikan Rizieq sebagai musuh yang keberadaannya tidak di inginkan di Indonesia. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari postingan salah satu buzzer penguasa yang menyatakan Rizieq memang diskenariokan untuk diasingkan.
"Kedua, merespons pernyataan Menko Polhukam (Mahfud) yang mempertanyakan mengapa baru sekarang suratnya ada? Maka perlu kami sampaikan bahwa surat tersebut sudah lama ada, namun selama ini IB HRS menjaga martabat Negara Indonesia dalam hubungan dengan pihak Kerajaan Saudi. IB HRS selama ini masih menghargai eksistensi NKRI dan menjaga kondusifitas situasi dan kondisi yang ada," ujarnya.
Slamet menuturkan pernyataan Mahfud yang menyebut negara juga peru mempertahankan eksistensinya justru memperkuat indikasi para penguasa memang tidak menghendaki keberadaan Rizieq di Indonesia. Slamet menegaskan Rizieq hanya ingin memberikan nasihat agar pemerintah tidak sewenang-wenang.
"Perlu juga kami klarifikasi, bahwa tidak ada satupun kehendak dari IB HRS untuk menghancurkan eksistensi NKRI. Apa yang dilakukan oleh IB HRS selaku ulama adalah semata mata menjalankan kewajiban agama, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar dan menasehati penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang atau melakukan kezaliman," ucapnya.
Dia menambahkan, bila pemerintah justru mempersepsikan seolah-olah perbuatan Rizieq mengancam eksistensi negara, maka ada yang salah dalam logika berpikir penguasa dalam mengelola negara.
"Tentu perlu kita luruskan bersama, bahwa Negara ini bukan milik para penguasa, Negara ini adalah milik rakyat Indonesia. Sebagai pemilik tentu saja di luar logika sehat bila ada yang berfikir pemilik mengancam eksistensi kepemilikannya," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar