Equityworld Futures - Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa Belanda mengajak saya berdiskusi di Jakarta. Kami berbincang banyak hal mulai dunia akademik, penelitian, sampai bisnis. Lalu ia bertanya tentang jurusan kuliah saya. Ketika saya jawab "filologi", ia bingung. "Apa itu?"
Saya kira ketidaktahuan dia tentang filologi cukup mewakili generasi milenial. Ya, pasti anak-anak muda sekarang lebih familiar dengan biologi, sosiologi, psikologi, dan antropologi ketimbang filologi.
Meski demikian, para filolog (ahli filologi) masih terus rajin berkarya dan menyosialisasikan hasil temuannya. Pada 6 November lalu, Guru Besar Filologi Universitas Indonesia Profesor Achadiati Ikram menelurkan kembali buku terbarunya Pengantar Penelitian Filologi.
Buku yang diterbitkan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) itu diluncurkan bersamaan dengan seminar nasional di FIB UI dengan tema "Naskah dalam Kajian Antardisiplin pada Era 4.0". Hadir memeriahkan acara tersebut Oman Fathurahman, Sudibyo, Munawar Holil, Titik Pudjiastuti, Mujizah, dan lainnya.
Henri Chambert-Lior
mengatakan, tidak ada ahli yang lebih tepat daripada Achadiati Ikram
untuk menulis buku ini karena dia sudah empat puluh tahun mengabdi
kepada ilmu filologi. Disertasinya tentang edisi teks Hikayat Sri Rama
dibimbing langsung oleh A. Teeuw di Universitas Leiden, Belanda. Buku
lain yang ditulis Ibu Ikram di antaranya Filologia Nusantara, Katalog Naskah Buton, dan Katalog Naskah Palembang.
Jika
kita melihat khazanah filologi di Indonesia, sebenarnya sudah ada
beberapa buku yang ditulis sebagai acuan sebuah disiplin ilmu. Seperti
yang telah ditulis Siti Baroroh Baried, Chamamah Soeratno, Edwar
Djamaris, Panuti Sudjiman, Nabilah Lubis, Oman Fathurahman, dan Karsono H
Saputra.
Tentunya mereka
juga merujuk karya filolog Barat seperti Pigeaud dan Stuart Robson. Maka
menarik pernyataan Henri Chambert-Lior bahwa filologi Eropa perlu
dipelajari, tetapi sebuah filologi khas Indonesia perlu juga dibangun.
Filologi Nusantara
Pada
21-23 November nanti, akan digelar Borobudur Writers & Cultural
Festival (BWCF) yang kedelapan di Yogyakarta dan Magelang. Pertemuan
tahunan ini diperuntukkan para penulis baik fiksi maupun nonfiksi, para
pekerja kreatif, aktivis budaya dan keagamaan lintas iman. Peserta BWCF
terdiri dari sastrawan, penulis, pemusik, penari, perupa, pewarta,
sejarawan, sosiolog, arkeolog, filolog, antropolog, ilmuwan, budayawan,
dan teolog.
Kabar gembiranya,
BWCF kali ini akan memberikan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada
Achadiati Ikram. Ia diakui sebagai tokoh yang memiliki kontribusi besar
dalam bidang seni-budaya dan humaniora di tengah masyarakat, terutama
dedikasinya melakukan inventarisasi, preservasi, katalogisasi,
penelitian, dan publikasi manuskrip Nusantara.
Ini
akan menjadi momen penting dalam merayakan filologi Nusantara. Di mana
filologi mendapatkan porsi utama dalam perhelatan luar biasa itu.
Tentunya kita juga tidak lupa bahwa pada 2016, Presiden Joko Widodo
menganugerahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Ibu
Ikram. Ia dinilai telah mengembangkan studi filologi untuk membangkitkan
apresiasi terhadap karya-karya intelektual Indonesia.
Dalam
sebuah wawancara, Ibu Ikram menjelaskan bahwa filologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari naskah-naskah lama. Indonesia memiliki
harta warisan naskah lama yang luar biasa banyaknya. Naskah lama
berbahasa Jawa saja tidak kurang dari 19.000, hanya 10% yang baru
diteliti. Belum terhitung naskah dari Melayu, Bugis, Bali, Lombok,
Madura, dan banyak lagi.
Ia
menegaskan, "Kita sebagai bangsa perlu mengetahui sejarah bangsa kita
untuk mengembangkan jati diri kita. Kita sebagai bangsa tidak mempunyai
jati diri. Kita tidak tahu apa dan dari mana kita. Kita mempelajari
sejarah dan gaya bangsa lain, tetapi budaya kita sendiri kita tak paham.
Dengan mempelajari naskah lama kita bisa mengenal diri kita dan hal itu
akan membuat jatidiri kita akan jadi kokoh".
Saya
membayangkan, pasca-BWCF filologi menjadi "viral" di negeri ini.
Sehingga tak menutup kemungkinan, Mendikbud baru kita Nadiem Makarim
berkenan menetapkan filologi sebagai salah satu materi kurikulum wajib
di tingkat sekolah. Minimal, teman saya yang mahasiswa Belanda itu tahu
bahwa Indonesia gudangnya filologi.
| This post is ad-supported |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar