PT. Equityworld Futures Manado - Sebanyak 44% emiten di pasar modal Indonesia disebut masih tertekan setelah pandemi Covid-19. Adapun sektor pertambangan dan ritel disebut paling terdampak.
Dalam laporan Distress Alert (ADA) yang disusun Perusahaan konsultan Alvarez & Marsal (A&M), terungkap bahwa secara keseluruhan kondisi emiten di Indonesia terlihat rapuh, dengan 44% dari emiten memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan.
Alessandro Gazzini (Alex), Managing Director A&M mengatakan, dari 44% emiten tersebut, 19% membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9% perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14% membutuhkan perbaikan secara simultan di kedua area tersebut.
Hal ini berbanding terbalik dengan negara yang ekonominya lebih maju seperti Inggris, di mana hanya 24% perusahaan yang masih dalam kondisi tertekan dalam kurun waktu tiga tahun, dan 65% di antaranya telah kembali ke status semula.
"Tekanan perusahaan meningkat di Indonesia meskipun sebagian besar perusahaan tetap dalam kondisi aman. Situasi keuangan belum kembali ke tingkat sebelum Covid-19 dan pemulihan dari tekanan perusahaan tampak lamban di Indonesia," ungkap Alex dalam media briefing di Jakarta, Kamis, (18/1/2024).
Baca Juga : Breaking! Harga Emas Terbang Nyaris 1% Setelah Hancur Lebur
Tiga sektor yang paling tertekan saat ini adalah logam dan pertambangan, ritel dan transportasi, serta infrastruktur dan konstruksi. Riset A&M mengungkapkan industri dan pertambangan, barang konsumen, serta bahan kimia dan material adalah sektor yang turun paling dalam.
Menurut data per Juli 2022-Juni 2023, sebanyak 25% dari seluruh emiten di Indonesia merupakan emiten di sektor logam dan pertambangan. Sektor ini turun 150% sejak 2021.
"Tingkat kesulitan (di sektor pertambangan) masih tinggi dimana perusahaan sebagian besar menghadapi buruknya alokasi modal untuk ekspansi dan diversifikasi produk atau inefisiensi operasional termasuk tingginya biaya bahan baku," kata dia.
Sementara itu, sebanyak 20,8% perusahaan yang tertekan berasal dari sektor retail dengan penurunan 25%. A&M melihat, 46% perusahaan kurang kuat dalam neraca atau kinerjanya, atau kurang dalam keduanya.
"Hal ini menunjukkan adanya dikotomi dalam strategi penetapan harga, di mana strategi dan proses penetapan harga yang kuat dan efektif dapat menentukan keberhasilan atau kehancuran perusahaan ritel di lingkungan pascapandemi," kata dia.
cnbcindonesia.com/market
Tidak ada komentar:
Posting Komentar